Semarang — Guru-guru dari berbagai daerah kembali “ngoprek” teknologi pada sesi pamungkas Pelatihan Edugame untuk Pembelajaran Mendalam yang digelar SLCC PGRI Jawa Tengah, Kamis malam, bersama Kelik Yan Pradana, S.Pd., M.M. sebagai narasumber dan Dr. Saptono Nugrohadi, M.Pd., M.Si. sebagai host sekaligus moderator. Fokus malam itu: bagaimana Canva AI dan Gemini diubah menjadi mesin pembuat edugame interaktif untuk kelas yang lebih hidup.
Sejak awal, Kelik menegaskan bahwa tantangan guru hari ini bukan lagi soal ketersediaan media, tetapi bagaimana mengubah ide pembelajaran menjadi pengalaman digital yang menarik. Ia menunjukkan tiga poros utama: memanfaatkan template Canva, naik kelas ke Canva AI saat template tak memadai, dan menggabungkannya dengan Gemini untuk menghasilkan kode game secara otomatis.
Dalam sesi demo, peserta diajak menyaksikan pembuatan game “balap mobil” untuk operasi bilangan bulat. Hanya dengan satu prompt panjang di Canva Code, sistem menghasilkan aplikasi sederhana: dua mobil, dua tim, dan skor yang bergerak setiap jawaban benar atau salah. Ketika mobil justru tampak “balap mundur”, bug itu tidak disembunyikan—justru dijadikan bahan belajar cara memperbaiki logika game bersama AI.
Kelik juga memperlihatkan bagaimana game sinonim–antonim kelas IV SD, teka-teki silang bertema permainan bola besar, hingga leaderboard otomatis untuk LDK bisa dihasilkan lewat perpaduan Canva AI, Gemini Canvas, dan Canva Sheet. Data jawaban peserta tercatat rapi tanpa perlu lagi menyambungkan manual ke Google Sheet.
“Platform itu cuma alat. Yang paling penting tetap ide gurunya: mau dipakai untuk pemantik, latihan, atau refleksi,” tegas Kelik, menekankan bahwa AI hadir sebagai asisten, bukan pengganti peran pendidik.
Moderator Dr. Saptono mengaitkan praktik teknis ini dengan konsep pembelajaran mendalam: memahami, mengaplikasikan, lalu merefleksi. Menurutnya, game interaktif yang dibuat dengan AI justru dapat memperkuat tiga tahap tersebut. “Tujuannya bukan sekadar seru-seruan. Kita ingin kelas yang lebih hidup, tetapi tetap terarah pada kompetensi dan karakter,” ujarnya.
Interaksi di ruang virtual makin hangat ketika peserta menyampaikan ide masing-masing: dari levelisasi soal matematika, permainan bahasa, hingga adaptasi untuk berbagai mata pelajaran. Beberapa guru sempat mengeluhkan tampilan di HP yang tidak proporsional, dan langsung dijawab dengan trik pengaturan rasio 16:9 serta penambahan instruksi “responsif” dalam prompt.
Menutup sesi, Kelik mengajak guru untuk berhenti ragu bereksperimen. AI, menurutnya, justru membuka peluang bagi guru biasa untuk menghasilkan produk setara kerja tim IT. Dr. Saptono menambahkan, rangkaian pelatihan ini diharapkan melahirkan semakin banyak karya kelas digital yang menjadikan pembelajaran mindful, meaningful, dan joyful di sekolah-sekolah anggota PGRI.
0 Komentar