Semarang – Rangkaian pelatihan Bootcamp Koding & Pembelajaran Mendalam (PM) SLCC PGRI Jawa Tengah mencapai puncaknya pada Rabu malam, 1 Oktober 2025. Sesi penutup ini menghadirkan Tri Haryatmo, S.Pd., M.Pd. dari Balai Besar Guru dan Tenaga Kependidikan (BBGTK) Jawa Tengah sebagai narasumber utama, dengan moderator Dr. Saptono Nugrohadi, M.Pd., M.Si. Dari awal, suasana langsung hidup: bukan sekadar pelatihan teknis, tapi laboratorium ide untuk guru-guru yang ingin menjadikan “koding” lebih dari sekadar barisan perintah di layar komputer.
Tri membuka dengan menjernihkan miskonsepsi klasik: “Berpikir komputasional bukan berarti harus jadi programmer. Intinya menyusun solusi secara logis dan sistematis agar bisa diproses manusia maupun komputer,” jelasnya. Konsep inilah yang kemudian diturunkan menjadi empat komponen inti: dekomposisi, pengenalan pola, abstraksi, dan berpikir algoritmik.
Melalui contoh kontekstual, ia membuat materi yang sering dianggap rumit menjadi konkret. Dekomposisi diilustrasikan lewat persiapan pesta ulang tahun—membagi urusan besar menjadi bagian kecil agar tidak menumpuk di kepala. Pengenalan pola dijelaskan lewat bengkel motor: “Setiap merek beda, tapi cara mendiagnosisnya punya pola yang sama.” Abstraksi dibawa dengan analogi Google Maps—menyaring informasi penting, mengabaikan yang tak relevan. Dan berpikir algoritmik diterjemahkan menjadi urutan membuat teh, dari merebus air sampai menuang ke cangkir.
“Empat kunci ini cepat nempel karena bisa dibawa ke semua mapel, bukan cuma informatika,” tambah Saptono yang memoderatori sesi dengan gaya dialogis. Ia menegaskan bahwa pendekatan ini sejalan dengan pembelajaran mendalam (PM) yang mendorong siswa berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif—empat C kompetensi abad 21 yang sering didengungkan tetapi sulit diterapkan tanpa pola pikir yang runtut.
Tri kemudian memperkenalkan dua pendekatan pelaksanaan, yaitu plug dan unplug. Pendekatan plug melibatkan perangkat digital seperti Scratch, Blockly, dan code.org yang menyediakan lintasan latihan bertahap. Sementara pendekatan unplug memungkinkan siswa berlatih logika dan algoritma lewat permainan tanpa gawai, seperti Simon Says atau grid game di lantai kelas. “Koding tidak selalu butuh listrik; yang penting, otak tetap nyala,” ujarnya ringan.
Sesi makin menarik saat peserta diajak mencoba game-based formative assessment, kuis interaktif yang menampilkan skor real-time dan statistik ketepatan tiap peserta. Dua tim — Biru dan Putih — bersaing menjawab 17 soal dalam lima menit. Hasilnya bukan sekadar hiburan: sistem otomatis menampilkan data akurasi per soal dan per peserta, bahan refleksi yang langsung bisa dipakai guru untuk remedial maupun pengayaan.
“Guru bukan sekadar mengajar, tapi membaca data belajar siswa secara cerdas. Game hanya jembatan; tujuannya refleksi,” komentar Saptono menutup sesi permainan.
Rangkaian bootcamp ini menjadi contoh sinergi nyata antara inovasi pedagogis dan kecerdasan buatan yang manusiawi. SLCC PGRI Jawa Tengah melalui kegiatan ini berhasil menggeser paradigma: dari menghafal perintah menuju memahami pola pikir. Dari belajar teknologi menuju belajar berpikir.
“Kuncinya bukan alatnya, tapi mindset-nya,” tegas Tri di penghujung acara. “Ketika guru paham logika berpikir komputasional, ia bisa menularkan cara berpikir efisien, sistematis, dan problem-solver kepada siswanya.”
Pelatihan ditutup dengan ajakan reflektif dari moderator. “Empat kali pertemuan ini baru awal,” ucap Saptono. “Tantangan sebenarnya dimulai ketika semua konsep ini diterapkan di kelas, di tengah siswa nyata dengan ide dan karakter mereka.”
Dengan model pembelajaran berbasis praktik, refleksi, dan data, SLCC PGRI Jawa Tengah menunjukkan satu hal: di tangan guru kreatif, koding bukan soal bahasa komputer—tapi bahasa berpikir masa depan.
0 Komentar